DMG-Jakarta.
Sudah lama rekan saya yang polisi tidak menelpon, mungkin sedang sibuk
sebelumnya … atau sedang tidak ada situasi yang krusial untuk didiskusikan. Dia
bercerita tentang penyelenggaraan Miss
World yang diselenggarakan di beberapa kota di Indonesia, termasuk Jakarta.
Bermula
dari broadcast message dari SMS dan BBM serta di social media yang menolak
dengan berbagai alasan, serta berujung dan diawali secara resmi dengan konferensi
pers oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak penyelenggaraan Miss World dengan alasan etika, tidak
sesuai dengan ajaran agama karena akan mengumbar aurat serta lebih banyak mudharatnya bagi bangsa Indonesia.
Selanjutnya
berduyun-duyun dan menguatlah penolakan terhadap penyelenggaraan Miss World tersebut oleh kelompok dan
ormas kegamaan … bahkan juga terlihat beberapa partai politik ikut dalam aksi
unjuk rasa penolakan … konon akan memebesar unjuk rasanya dari pada tanggal 6
dan 13 September ini.
Pro
kontra semacam ini di negeri demokrasi besar ini memang wajar terjadi, namun
yang tidak wajar, ketika memaksakan pendapat itu dengan tekanan-tekanan serta kekerasan.
Mari kita lihat saja perkembangan gerakan penolakan ini, apakah berujung pada
pengerasan ideologis, transaksional atau penyadaran.
Sebagai
bangsa yang berjiwa besar dan beradab, kok saya lebih memilih penyadaran … olah
pikir dan rasa untuk membuka wawasan dan kemudian bersikap secara bijak dan
santun, namun tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa (tentu saja
kepribadian Pancasila).
Ada
yang bilang ada perbedaan besar antara Miss
Universe dengan Miss World, persamaannya
mungkin adalah sama-sama akan memilih wanita terbaik, yang berbeda adalah criteria-kriterianya.
Miss Universe mungkin arti
harafiahnya “Ratu Kecantikan Dunia” … lebih berat dan cenderung pada kecantikan
wajah, penampilan, kemolekan tubuh dan konon sampai ada penilaian dengan baju
renang atau bikini … sehingga muncul ada kontestan yang memilih yang one piece atau two piece … pada peragaan busana renang.
Miss World … katanya,
lebih condong pada budaya, hampir sama … ada juga peragaan busana. Para
kontestan akan memperagakan busana hasil rancangan perancang Indonesia …
(mudah-mudahan benar informasi ini ya … kalo benar, maka saya AKAN termasuk yang
mendukung pelaksanaannya di Indonesia).
Karena
dengan demikian, yang menentukan busana itu perancang Indonesia, maka bisa
ditentukan … yang bagus-bagus dan berkepribadian Nuswantara !
Bukan
mengeksploitasi tubuh yang mengarah pada pornografi serta pornoaksi, yang tentu
saja sudah ada Undang-Undang yang mengatur.
Dengan
memperagakan busana-busana ciptaan perancang Indonesia, juga sebagai batu uji …
bagaimana karya-karya anak bangsa di bidang modeling apakah sudah berkepribadian
Indonesia … akan menjadi hal yang luar biasa juga, jika menjadi ajang pengakuan
juga oleh bangsa-bangsa lain untuk melihat budaya dan kepribadian adiluhung
bangsa kita, tentu akan jadi promosi dan iklan gratis untuk bangsa-bangsa di
dunia. Mungkin, bisa dikawinkan dengan konsep pemilihan Abang-None di Jakarta
atau Mbak-Mas di Semarang … sehingga lebih bisa tereksploitisir secara positif manfaatnya.
Banyak
hal yang bisa dikaji … mungkin bukan hanya manfaat sosial budaya, tapi juga manfaat
ekonomi dan politik pergaulan dunia … atau mungkin masih ada
kemanfaatan-kemanfaatan yang lain … yang sementara ini masih luput dari
pandangan.
Hal
ini menjadi tugas MNC untuk menjelaskan, sebagai bahan diskusi dan dialog untuk
rekan-rekan ormas dan partai politik … mari sama-sama kita nilai dan ditimbang
manfaat dan mudharat-nya, kalaupun
tetap tidak atau belum setuju … kita lihat keputusan para pemangku kepentingan
di NKRI ini … boleh tetap tidak dan belum setuju, namun tidak boleh
anarkitis.(Eko2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar